A.
Sejarah
Tidore merupakan salah satu
pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi
nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung
api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung
api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung
Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal
dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa
Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak anta
thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua
bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah
Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang
didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah
kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan
darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan
tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari
Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang
terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian
tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub
turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo.
Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi
pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai
ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang
datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole
yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah
dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi
fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta
thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada
yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub.
Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta
ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie
Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan
Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul
Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas
lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah
kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian
mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan
tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut
adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri kesultanan Moti;
Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur Malamo, pendiri kesultanan Ternate . Sedangkan empat orang putri adalah: Boki
Saharnawi, yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan
raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki
Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan
salah satu pilar yang membentuk Kie Raha, yang lainnya adalah Ternate ,
Makian dan Moti.
Berdasarkan legenda asal usul
di atas, tampak bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang sama: Djafar
Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari benar atau salah, kemunculan dan
perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan adanya
kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama
di Maluku Utara, yaitu: Ternate , Tidore,
Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos
asal-usul.
Sejak awal berdirinya hingga
raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era
Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore
sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah
Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan
dimana sebenarnya Balibunga ini. Ada
yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah
pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan
Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar
sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik
tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan
perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan
dengan Ternate , dan diapit oleh Tanjung
Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi
ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi
beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun
1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di
selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate , sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga
sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan
didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang
masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke
Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian
berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini.
Pada abad ke 16 M, orang
Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –termasuk Tidore– untuk mencari
rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri
kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi
beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan
kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate ,
Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami
kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.
Sepeninggal Portugis, datang
Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli dan menguasai Tidore demi
keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang
dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M).
Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh
kepulauan Maluku, termasuk Ternate , Bacan dan
Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada
Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo
kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore
dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan
Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis.
Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi
kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial
Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik.
Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi
nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia
dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat
ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau
dan Nuku Nono.
Seiring dengan masuknya
kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh
Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan
pengaruhnya di Tidore.
B.
Silsilah
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini,
telah berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan
Hi. Djafar Syah. (nama dan silsilah para sultan lainnya, dari awal hingga yang
ke-37 masih dalam proses pengumpulan data).
C.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Tidore berdiri sejak
1108 M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah
itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia
merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
D.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan
Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan Pasifik.
Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua,
gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan
Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan
Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih menggunakan
identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah
lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku
Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.
E.
Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore
cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di
tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota
sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan
dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano
Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola
Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di
antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa
kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan
dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam
bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan
pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan
wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen)
dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan
melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) pehak
labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak
labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2) pehak adat bidang
pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau (panglima
perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam)
dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) Pehak Kompania (bidang
pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa;
(4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris
kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler
kerajaan bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina),
Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan
administrasi pelayaran). Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang
membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi
intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.
F.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat di Kesultanan Tidore
merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi
pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu
kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para
ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi
antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka:
Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi
Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini
Berkenaan dengan garis
kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya
terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam
di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat
Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah
pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di
lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan
utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis
upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri,
upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa
selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang
tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore
kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang
populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa
(ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan
yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam
bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini
disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra
tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari
peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional
Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di
tangan masyarakat secara individual. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak
ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak
ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore
terkenal, dikunjungi para pedagang asing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar