A. Sejarah
Awalnya
merupakan salah satu dari pelabuhan Kerajaan Sunda. Pelabuhan ini direbut 1525
oleh gabungan dari tentara Demak dan Cirebon. Setelah ditaklukan daerah ini
diislamkan oleh Sunan Gunung Jati. Pelabuhan Sunda lainnya yang juga dikuasai
Demak adalah Sunda Kelapa, dikuasai Demak 1527, dan diganti namanya menjadi
Jayakarta
B. Kehidupan
Politik
Berkembangnya
kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di
kerajaan tersebut. Dalam perkembangan politiknya, selain Banten berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga berusaha memperluas daerah
kekuasaannya antara lain Pajajaran. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh
daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Banten. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan
raja Panembahan Yusuf.
Pada
masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke
Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada
seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai
Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal
ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan
dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di
Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan
berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak
keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa
seperti Arab, Cina , India , Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda
pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena
kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari
Banten dan menetap di Jayakarta.
Di
Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602. Selain mendirikan
benteng di Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi
Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya
kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan.
Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga
Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC.
Dalam
rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan
perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan
tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi
tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik
adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan
Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di
Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut.
Belanda
memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh
Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan
dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan
VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji
harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684.
Perjanjian
tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten
kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli
perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan
Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja
Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
C. Kehidupan
Ekonomi
Kerajaan
Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda
merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran
dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten
sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai
bangsa.
Pelabuhan
Banten juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh
Pulau Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan
ekspor seperti lada.
Selain
perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan
memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi.
Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman barang dari
pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus
berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.
D. Kehidupan
Sosial Budaya
Kehidupan
masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia pelayaran, perdagangan dan
pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat terbuka
karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa.
Di
samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan yang dibentuk
berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi), Kampung
Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
Dalam
bidang kebudayaan : Di kerajaan Banten pernah tinggal seorang Syeikh yang
bernama Syeikh Yusuf Makassar (1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung
Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di
Banten pada akhir masa kesultanan lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi
Al-bantani pernah menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan
di Makkah, sedikitnya ia telah menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits,
Sejarah, Hukum, tauhid dan lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam
menunjukkan ia seorang yang luas wawasannya.
Salah
satu contoh wujud akulturasi tampak pada bangunan Masjid Agung Banten, yang
memperlihatkan wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia, Hindu, Islam di
Eropa.
Arsitek Masjid Agung
Banten tersebut adalah Jan Lucas Cardeel, seorang pelarian Belanda yang
beragama Islam. Kepandaiannya dalam bidang bangunan dimanfaatkan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa untuk mendirikan bangunan-bangunan gaya Belanda (Eropa) seperti
benteng kota Inten, pesanggrahan Tirtayasa dan bangunan Madrasah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar