Kerajaaan
Sriwijaya A. Pembentukan dan Pertumbuhan Peta pengaruh Sriwijaya di abad ke-10.
Tidak banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Menurut
Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri
Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama
tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan
Bengkulu. Menurut sebagian sejarawan, Minanga Tamwan merujuk pada daerah di
sekitar hulu sungai Kampar di Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Tambo
Minangkabau mencatat bahwa keluarga Dapunta Hyang turun dari gunung Marapi ke
hulu sungai Kampar, yang kemudian keturunannya meluaskan rantau ke selatan Sumatra. Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan
merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar
wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar
Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang,
Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona
utama – daerah bukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang
berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu
menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai
komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara
langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan
Sriwijaya. Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan. Pada tahun 680 di
bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Malayu takluk di bawah imperium
Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise
kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di
Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir
abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada
di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera
hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan,
Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung
Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga,
yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh
Sriwijaya. Ekspansi kerajaan ke Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan
Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina
mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Palembang.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II,
pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825. Di abad
ke-12, wilayah imperium Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, semenanjung
Melayu, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan
penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat
hingga abad ke-13. B. Budha Vajrayana Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang
melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang
sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana
di Tibet. I Ching melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana
Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. C. Relasi Dengan Kekuatan Regional Pagoda Borom
That bergaya Sriwijaya di Chaiya,
Thailand. Dari
catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara,
antara lain: Sumatra, Jawa, semenanjung
Melayu, Kamboja, dan Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India. Kerajaan Malayu merupakan
kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan
pada abad ke-7. Di kerajaan Malayu, pertambangan emas merupakan sumber ekonomi
cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh
Nusantara. Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan
Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi SuratThani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan, walaupun klaim
tersebut tak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom
That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi
tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga
berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti
berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada
Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup
baik dan menjadi buruk setelah terjadi penyerangan di abad ke-11. D. Masa
Keemasan Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di
Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi,
Indonesia.
Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 - 850,
pemerintahan Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan
utusan ke China pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan
dirampasnya tahta Sriwijaya di Jawa dengan terusirnya raja Balaputradewa. Di
tahun 902, raja baru mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja
terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari
literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi
bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang
memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Pada paruh
pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn
Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan
meliputi Palembang
(khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah. E. Penurunan Tahun 1025,
Rajendra Chola, raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukan Kedah dari
Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya. Meskipun
invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan
hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk
kerajaan sendiri, seperti Kediri,
sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian. Antara tahun 1079 - 1088,
orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan
1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat
Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah
melemahkan Palembang,
dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat kerajaan. Berdasarkan sumber
Tiongkok pada buku Chu-fan-chiyang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat
kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri).
Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa
beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi
(Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu wilayah
Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu),
Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (?), Ji-lo-t'ing
(Jelutong), Ts'ien-mai (?), Pa-t'a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor),
Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka?). Pada tahun
1288, Singasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi
Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singasari, memerintah Sumatra. Raja keempat Hayam Wuruk memberikan tanggung
jawab tersebut kepada pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa.
Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan
tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra
sering terjadi kekacauan dan pengrusakan. Dimasa berikutnya, terjadi
pengendapan pada sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini
tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus
berlanjut hingga lepasnya kota-kota di utara Sumatra
menjadi negara-negara merdeka. Negara-kota itu antara lain Samudera, Pasai,
Aru, dan Aceh. Masuknya Islam ke negara-negara baru tersebut, telah menjadi
ancaman Sriwijaya dari arah utara, disamping Majapahit yang menjadi ancaman
dari timur. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya
mendirikan kesultanan Malaka di semenanjung Malaysia. F. Perdagangan Di dunia
perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang
Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu
gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya
sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara. G. Pengaruh Budaya Kerajaan
Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu dan
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di
Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama
Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Pada masa
yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar
melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414, pangeran
terakhir Sriwijaya yang berhijrah ke Semenanjung Malaya
dan mendirikan Kesultanan Melaka, Parameswara, memeluk agama Islam. Agama
Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok
kepulauan Nusantara dan Palembang
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068,
Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Cholamandala (India Selatan)
yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025,
raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya
telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India.
Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Pada tahun 1088, Kerajaan Malayu yang
dahulunya menjadi taklukan Sriwijaya, menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. H.
Pengaruh Islam Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang dikenal sebagai pusat
agama Budha sangat dipengaruhi oleh pengunjung-pengunjung muslim, sehingga
kerajaan ini menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak,
disaat melemahnya Sriwijaya. Ditenggarai karena pengaruh orang muslim Arab yang
banyak berkunjung di Sriwijaya maka, raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan
sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat
Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim
surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adalah
ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar
khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya. KATA PENUTUP Demikian yang
dapat penulis buat dalam Tugas Remidi Sejarah ini tentunya pembuatan ini untuk
menuntaskan mata pelajaran yang belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Materi.
Apabila ada kesalahan dalam pembuatan mohon kritk dan saran agar pembuatan
selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar